RENUNGAN DALAM TAHUN LITURGI

RENUNGAN PENUTUP TAHUN LITURGI 2015 PADA HARI PESTA KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM

Makna Simbolis dalam Perumpamaan Hamba yang tak berguna

Symbolic Imagery in the Parable of the Unprofitable Servant

Lukas 17:7-10

The master = God; The servants who work on the master’s land = Christians within the kingdom of the Church; Unprofitable servants = Christians who only do the minimum service that God requires of a Christian (Michal E. Hunt Copyright © 2013)

Pemahaman Teks dan Arti Alegoris (perumpamaan)

Perikop Lukas 17: 7-10 adalah bagian keempat dari Bab 17 Injil Lukas yang menyajikan ajaran Yesus tentang persyaratan/tuntutan pelayanan yang harus dilakukan oleh para murid Yesus. Pelayanan yang dilaksanakan dengan sekadar memenuhi tuntutan untuk untuk melayani merupakan bentuk pelayanan yang minimal. Pelayanan seperti itu menjadikan murid Yesus seperti “seorang hamba yang tak berguna, yang tak layak menerima terimakasih dari Tuannya.”

Gambaran pelayanan minimal tersebut di atas nampaknya dapat direnungkan dengan mencermati konteks atau perspektif ajaran Yesus (nasihat-nasihat) pada Bab 17 yang disampaikan sebelumnya, yaitu nasihat-nasihat yang menggambarkan karakteristik orang-orang yang menjadi murid Yesus. Yesus menasihatkan: rambu-rambu yang tak boleh dilakukan dalam bentuk skandal atau hal-hal yang tidak pantas terjadi di komunitas murid Yesus (Luk 17:1-3a), kewajiban mengampuni sesama (Luk 17: 3b-4), dan gambaran tentang kekuatan iman walaupun hanya sebesar biji sesawi (Luk 17:5-6). Sesudah itu, Lukas seperti hendak mempertegas realisasi karakteristik itu dalam teks bab 17: 7-10, yang seolah-olah hendak disimpulkan dalam perumpaan tentang hamba yang tak berguna. Kesimpulannya adalah bahwa gambaran karakteristik murid-murid Yesus yang melakukan pelayanan minimum merupakan perwujudan hidup sebagai hamba yang tak berguna. Kesimpulan seperti itu dipaparkan dalam bentuk alegori atau perumpamaan yang memberi gambaran simbolis tentang hubungan Tuan dan Hamba yang tak berguna, karena hamba itu hanya melakukan hal yang minimum. Di situ Michael E. Hunt (Agape Bible Studies) memetik tiga hal penting, yaitu:

  • Tuan sebagai Tuhan,
  • Tanah milik sang Tuan sebagai gambaran umat kristiani didalam kerajaan Allah atau GerejaNya, dan
  • Hamba yang tak berguna sebagai umat kristiani yang hanya mengerjakan pelayanan minimum bagi Tuhan.

Dari rekonstruksi pemahaman teks tersebut di atas tentu saja tidak bisa disimpulkan bahwa Lukas serta-merta mengaitkan tiga nasihat tentang karakteristik para murid Yesus itu dengan gambaran pelayanan minimum yang dilakukan oleh umat kristiani seperti yang dimaksud oleh Lukas 17: 7-10. Dalam Bab 17: 1-6 Lukas juga tidak menjelaskan bagaimana karakteristik murid-murid Yesus (kemuridan) yang seharusnya sempurna sebagaimana Tuhan Yesus menghendaki.

Yang menarik dan menonjol dari teks Lukas 17: 7-10 justru terjadi pada pembicaraan Yesus tentang perumpamaan hubungan Tuan dan hamba atau hubungan Tuhan dan murid-murid Yesus menurut konteks pelayanan. Di situ hamba melayani Tuan sebagaimana yang diharapkan. Adapun pelayanan yang sekadarnya atau minimum karena sekadar memenuhi harapan ternyata menurut Yesus “tidak layak untuk mendapatkan terimakasih dari Tuannya.” Pelayanan seperti itu dilakukan oleh hamba yang tidak berguna, karena sikap mengharapkan imbalan “terimakasih dari Tuannya tidak sepadan dengan apa yang dilakukan sekadarnya.” Sikap seperti itu mencerminkan sikap hidup seperti orang Farisi yang merasa “berhak mendapatkan keselamatan karena mereka merasa memiliki status sebagai anak-anak Abraham dan menjadi bagian dari ikatan perjanjian lama,” padahal mereka tidak melakukan lebih dari itu. Menurut Michal E. Hunt (Agape Bible Studies), mereka telah gagal memahami ajaran hukum agama (Lukas 14: 3-6). Mereka juga tidak memenuhi tuntutan seperti yang diajarkan oleh Yesus dalam Lukas 11:39-52 tentang “syukur dan terimakasih, kepedulian dan keadilan bagi orang miskin.” Lagipula, gambaran hamba yang tak berguna itu nampak dalam sikap hidup seperti orang Farisi yang lebih mencintai uang daripada mencintai Allah (Lukas 16: 13-15), dan mereka mengabaikan seruan tobat dari Yohanes Pembabtis (Lukas 3: 7-9).

Kesimpulan tegas dari pemahaman teks tersebut di atas terdapat pada Lukas 17:10, yang memperingatkan kita tentang kualitas pelayanan kristiani:

  1. Seorang murid Yesus yang bersikap dan berperilaku dalam hidupnya sebagai hamba tak berguna tidaklah pantas menerima apapun melebihi keberadaannya sebagai pelayan yang sekadar mematuhi perintah.
  2. Sikap dan perilaku murid Yesus (orang kristiani) yang mengandalkan status kekristenannya semata-mata, termasuk yang bersikap dan berperilaku kemunafikan seperti orang Farisi, ternyata tidak menjamin akan mendapatkan keselamatan. Karena keselamatan sebagai rahmat Allah merupakan berkat yang diberikan dan tidak bisa dikejar untuk memperolehnya. Perbuatan baik yang dilakukan seharusnya membuktikan iman kita, dan hal itu memungkinkan kita terbuka untuk menerima berkat yang menjadi rahmat Allah.
  3. Pembenaran diri atau sikap kita yang merasa aman bahwa akan mendapatkan keselamatan tanpa berbuat sesuatu secara maksimal, hal itu justru menjadi sikap hidup yang menjerumuskan diri kedalam kehancuran.

Pemaknaan Spiritual atau Hidup Rohani

Catatan pemahaman teks di atas dapat dicermati lanjut untuk pemaknaan nilai-nilai spiritual atau hidup rohani menurut aspek moral dan kehidupan kekal (anagogi) secara lebih spesifik, mendalam, dan mengena dalam perkembangan hidup rohani kita. Dari Injil Lukas bab 17 ayat 10 yang menegaskan tentang kualitas pelayanan tersebut di atas, kita dapat belajar lebih jauh hal-hal sebagai berikut:

  1. Keberadaan kita saat ini sebagai orang kristiani dengan peran-peran khusus yang telah terkembang dalam hidup kita, seharusnya tetap memacu kita untuk terbuka kepada rahmat Allah semata-mata. Perjalanan hidup dan panggilan yang telah dilewati tidak pernah boleh dipercayai sebagai zona aman dan nyaman, yang mengabaikan sapaan Allah yang lebih spesifik dan tegas. Karena, dalam setiap saat dan kesempatan yang masih diberikan olehNya ternyata DIA membimbing kita untuk terbuka kepada panggilanNya yang lebih spesifik dan tegas untuk lebih memuji dan memuliakan Tuhan. Perjanjian baru dalam baptisan umat kristiani telah memeteraikan hidup ini menjadi perjalanan yang penuh totalitas untuk tidak pernah bisa dipisahkan dari hubungan kita dengan Tuhan. Sehingga, tujuan hidup ini bukan terpusat kepada kesempurnaan diri kita, melainkan kepada panggilan untuk mengalami hubungan diri kita dengan totalitas Allah yang pantas dipuji dan dimuliakan sepanjang masa. Panggilan yang semakin tegas dan spesifik seharusnya dapat dialami dalam pengalaman keterikatan akan totalitas Semoga pengalaman akan totalitas Allah seperti itu dapat kita terima sebagai rahmat istimewa yang dianugerahkan bagi kita.
  2. Pengalaman totalitas seperti tersebut di atas dapat menjadi pencerahan bagi mereka yang telah memasuki masa tua dan usia senja. Tentu pengalaman totalitas itu harus bisa dialami lebih dari “sekedar pasrah di masa tua karena merasa hidupnya semakin tidak berdaya.” Jika hal itu terjadi maka mereka itu tidak ubahnya seperti hamba yang tak berguna “yang mengakui keAllahan yang mahakuasa dan memujiNya karena diri mereka merasa tidak berguna dan tidak berdaya dalam kerentaan usia senja.” Pengalaman akan totalitas Allah seharusnya dapat dialami oleh mereka di usia yang senja dan membawa mereka untuk masuk kedalam alam pengalaman untuk menemukan misteri panggilan yang menjadikan mereka “lebih dari hamba yang tak berguna.”
  3. Hal yang sama juga terjadi bagi orang muda yang hidupnya banyak mengalami kegagalan dan menjadi pasrah menyerah kepada nasib. Hal itu juga terjadi pada orang muda yang terlalu percaya diri atas kesuksesan hidupnya sampai melupakan kemungkinan dipanggil untuk menjadi tebusan dan silih bagi sesama yang menderita. Hamba yang tak berguna dapat menjadi hidup kita dalam banyak keadaan dan terjadi di tingkatan usia kapan pun. Bagaimanakah pengalaman totalitas seperti terebut di atas dapat dialami dalam setiap penegasan panggilan yang menjadikan kita lebih dari sekedar melaksanakan kewajiban sebagai orang kristiani atau sekedar menghindari keberdosaan? Bagaimanakah sikap magis atau semakin memuji dan memuliakan Allah dapat mewarnai perjalanan panggilan hidup ini, apalagi dengan menyadari bahwa panggilan hidup itu bukan sekedar berujung pada kematian, melainkan berlanjut memasuki kehidupan kekal bersama Allah Bapa? Pengalaman macam apakah yang seharusnya membawa kita menemukan semangat rohani yang membentuk sikap magis atau semangat rohani yang lebih memuji dan memuliakan Allah?
  4. Tanda-tanda bahwa kita memiliki pengalamana totalitas tersebut di atas dapat dicermati dalam setiap ketertarikan kita kepada hal-hal rohani, bahkan dalam kepekaaan akan nilai rohani dibalik keduniawian. Di situ kita tidak pernah berhenti memikirkan kedalaman hidup rohani karena sadar akan pengalaman dahsyat yang penuh keindahan ketika di sana bertemu denganNya. Pertemuan macam apakah itu? Pertemuan itu boleh disebut sebagai pengalaman mistik, yaitu pengalaman bersatu dengan Allah yang ditemukan dalam meditasi-kontemplasi ketika melakukan lectio divina (pembacaan kitab suci dalam suasana doa) atau ketika mengalami hal-hal khusus yang langsung membuat kita terpana dan terpusat kepada kuasa Allah yang Mahatinggi.
  5. Pengalaman totalitas yang membuat kita selalu merasakan keterikatan dengan kehadiran Tuhan dalam hidup ini dapat dicermati dalam “perasan berkanjang di hadirat Allah.” Nampaknya perasaan seperti itu bukan sekedar emosi seperti seseorang yang sedang merindukan pacar atau pasangan hidupnya. Lebih dari itu, perasaan berkanjang di hadirat Allah itu nampak dalam proses perkembangan afeksi (sensus spiritualis) yang dapat ditelusur lebih dalam dibalik buah-buah kontemplasi-meditasi seseorang, misalnya:
  • bagaimana dia menerima dan menanggapi “hiburan-hiburan rohani,”
  • selanjutnya bagaimana dia memilah dan memilih nilai-nilai rohani yang hendak dipeluk dan dihayati lebih tegas dan berlanjut,
  • lalu bagaimana dia menata dan mengorganisasikan temuan-temuan nilai rohani untuk menjadikannya terpateri sebagai ciri khas dan karakteristik jatidirinya dihadapan Allah,
  • akhirnya bagaimana dia hendak memastikan dan menegaskan komitmen panggilannya menjadi pilihan cara hidup yang dipeluk dengan sikap magis atau semangat berapi-api yang membara sehingga jalan hidupnya hendak dihayati sampai mati sebagai pengorbanan dan silih yang rela bagi orang lain dan sesama,
  • puncak dari perasaan berkanjang yang penuh pergumulan tersebut di atas adalah penemuan pengalaman keterbukaan kita untuk berani memasuki dunia orang mati dengan semangat hidup kekal, yaitu jawaban Amin untuk pertanyaan mendasar berikut ini: “Apakah Keluhuran dan Kemuliaan Allah menjadi segala-galanya bagi kita?” Jawaban Amin di situ tidak dicemari oleh kerisauan apapun, termasuk tidak meragukan bagaimana Allah mengurus kesucian atau kesempurnaan perjalanan hidup kita. Semua dipersembahkan kepadaNya, baik kemalangan dan keberuntungan, baik keberdosaan dan penghiburan yang penuh ampunan, dan segala sesuatu sedemikian rupa bukan berpusat pada keselamatan diri kita semata, tetapi membawakan persembahan itu kepadaNya demi keselamatan banyak orang karena dengan semua itu maka semua orang lebih memuji dan memuliakan Nama Allah berkat karya penebusan Yesus Kristus, PuteraNya yang Tunggal.

Lectio Divina yang terkait dengan Lukas 17 ayat 10 nampaknya semakin memastikan bahwa keberadaan jatidiri umat kristiani dihadirat Allah semakin tegas layak dipersoalkan. Jawaban minimum, atau tanggapan suam-suam kuku yang setengah-setengah, keduanya tidak mencukupi karena hanya menegaskan jatidiri kita sebagai “hamba yang tidak berguna, yang tidak layak mengharapkan terimakasih dari Allah.” Sikap dan cara hidup “lebih dari sekadarnya” atau sikap magis yang lahir dari pengalaman totalitas keterikatan kepada Allah merupakan tawaran panggilan yang dinamis. Sehingga, pergumulan panggilan yang penuh dinamika rohani itu seharusnya semakin membuktikan bahwa hidup kita disentuh, disapa, dan dianugerahi rahmat pengaruh kuasa Roh Allah yang menjadi Raja bagi kehidupan ini. Semoga pengalaman Lukas 17: 7-10 dapat membenamkan kita dalam persatuan kita dengan Kristus Raja Semesta Alam, yang kita peringati dan rayakan pada Minggu Terakhir tahun Liturgi gereja sebelum memasuki Minggu Adven yang baru. Karena Roh Allah melayang-layang dan hinggap dalam hidup kita selamanya. Dalam pengalaman dinamis yang kita terima setiap hari hadirlah Roh Kudus yang memeteraikan kharisma panggilan khusus untuk masing-masing kita. Didepan kita terbentang dunia baru untuk mewujudkan panggilan khusus itu sampai kepada kehidupan kekal, yaitu dengan menjadikan hidup ini menjadi berkat persembahan yang bermakna karena didalamnya Kristus hendak memberikan rahmat keselamatan-Nya kepada semua orang. Terberkatilah kita yang boleh bergabung dalam panggilan khusus agar semakin terbuka rahmat Allah bagi semua orang. Fiat Voluntas Tua, Cum Mariam ad Iesum.

soemarman@yahoo.com

Surabaya, 22 Nopember 2015

Leave a comment